Kuasa hukum lainnya, Firman Pangaribuan, menambahkan bahwa meskipun kebebasan berpendapat adalah hak setiap warga, hal itu sebaiknya disampaikan dengan konteks dan substansi yang utuh.
“Jika keabsahan tersebut kembali diangkat maka patut dipikir ulang apa yang menjadi niat atau tujuan untuk membahas kembali hal tersebut. Jadi bukan tidak boleh, namun rasanya tidak berlebihan jika niat dan tujuan orang tersebut kita pertimbangkan secara seksama,” ujarnya.
Polemik ini kembali mencuat setelah video analisa dari mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Sianipar, menyatakan bahwa font pada sampul skripsi Jokowi yakni font Times New Roman belum tersedia pada era 1980-an.
Namun UGM telah memberikan klarifikasi bahwa font serupa sudah lazim digunakan di percetakan sekitar kampus pada waktu itu.
Rismon bahkan disebut ingin bertemu langsung dengan Jokowi untuk klarifikasi. Menanggapi hal ini, Rivai menyatakan bahwa keinginan itu tidak dapat dilakukan secara langsung.
“Tidak bisa serta merta langsung ingin ketemu Bapak (Jokowi). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 7 huruf 1 KEAI yang menyebutkan pada pokoknya apabila advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui advokat tersebut,” jelasnya.













