Ia menambahkan, tidak ada manusia yang sempurna, sehingga penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan merupakan hal yang wajar.
“Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” tutur Bahlil.
Namun, gagasan tersebut langsung menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan masyarakat sipil. Sebanyak 500 aktivis dan akademisi mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai Soeharto tidak layak menerima gelar pahlawan nasional karena rekam jejak pemerintahannya diwarnai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pemberangusan kebebasan sipil.
“Pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran HAM. Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
Ia juga menyoroti ketimpangan sosial-ekonomi yang meningkat selama masa Orde Baru.
“Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
Gagasan Bahlil akhirnya berkembang menjadi perdebatan antara penghargaan terhadap jasa para pemimpin dengan ingatan atas luka sejarah.
Di satu sisi, penghargaan dianggap bentuk penghormatan atas kontribusi presiden terdahulu. Namun di sisi lain, sebagian kalangan menilai gelar pahlawan bukan sekadar penghormatan, melainkan juga simbol moral yang harus bersih dari kontroversi sejarah.













