Tiada Lagi Abah: Sebuah Refleksi atas Perekonomian Hari ini

  • Bagikan

Dulu, seseorang bisa gagal lalu pulang bukan ke sistem, tapi ke rumah. Ke tempat di mana nilai seseorang tak diukur dari saldo rekening, tapi dari siapa yang masih duduk bersamanya ketika ia tak bisa menjelaskan apa-apa.

Hari ini, kegagalan adalah cacat permanen. Dunia kerja menjadi arena gladiator siapa yang jatuh, keluar. Tidak ada ‘istirahat dulu,’ tidak ada ‘ayo coba lagi,’ hanya ada optimasi, hasil, dan kompetensi.

Kita membangun sistem ekonomi yang canggih, tapi lupa menyelipkan belas kasih di dalamnya.

Padahal, ekonomi bukan semata urusan barang dan jasa. Ia adalah cerita tentang bagaimana manusia bertahan, berbagi, kehilangan, lalu bangkit kembali.

Ilmu ekonomi seharusnya lahir dari dapur-dapur kecil, dari tawa anak-anak yang makan sederhana, dari bapak yang menarik becak dengan keyakinan bahwa besok akan tetap ada nasi di piring.

Kita tidak butuh ekonomi yang sempurna. Kita butuh ekonomi yang peduli yang memberi ruang bagi air mata, pelukan, dan kesalahan. Kita butuh sistem yang bisa berkata, “Tak apa, mulai lagi saja.”

Matinya Abah bukan sekadar kehilangan satu sosok, tapi hilangnya semangat bahwa nilai hidup tidak ditentukan oleh keberhasilan semata.

Bahwa kehormatan tidak bergantung pada CV atau rating, tapi pada keberanian untuk bangkit, mencintai, dan tetap ada untuk keluarga meski segalanya telah hilang.

  • Bagikan