Awalnya, Belanda tidak berniat melakukan ekspansi, namun ketika melihat keadaan kerajaan-kerajaan di Simalungun sedang tidak stabil, mereka pun menjalankan siasat untuk menaklukkan wilayah tersebut.
Hanya segelintir raja yang berani menentang upaya itu. Salah satunya adalah Raja Rondahaim Saragih dari Kerajaan Raya. Ia tidak tinggal diam melihat manuver kolonial yang ingin menguasai tanah Simalungun.
Rondahaim bahkan menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Sumatera, termasuk Sisingamangaraja XII dari Tapanuli.
Dalam pertemuan bersejarah di Dalig Raya tahun 1882, keduanya sepakat untuk menyatukan kekuatan melawan Belanda. Aliansi ini menjadi bukti bahwa semangat persatuan dan perlawanan tidak hanya tumbuh di satu wilayah, tetapi menyala di seluruh Tanah Sumatera.
Pada tahun 1884, Sisingamangaraja XII memutuskan melakukan kontak senjata dengan Belanda di sekitar Danau Toba. Sejak itu, hubungan aliansi dengan Rondahaim Saragih semakin kuat.
Ia mempersiapkan persenjataan, memerintahkan pandai besi untuk membuat senjata, dan mendatangkan kuda-kuda perang dari berbagai wilayah. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Kerajaan Raya dikenal tangguh, terlatih, dan siap menghadapi serangan kolonial.
Perjuangan Rondahaim Saragih bukan sekadar kisah tentang perang, tetapi juga tentang keteguhan hati seorang pemimpin daerah yang mencintai tanah kelahirannya.
Tuan Rondahaim mewariskan semangat kemandirian, keberanian, dan persatuan yang kini menjadi cermin bagi masyarakat Simalungun dan seluruh rakyat Sumatera Utara.
Kini, setelah lebih dari satu abad, nama Tuan Rondahaim Saragih kembali harum di telinga masyarakat Indonesia. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional menjadi bukti bahwa perjuangan dan pengorbanannya tidak sia-sia.
Dari Huta Sinondang hingga Istana Negara, semangat Rondahaim Saragih tetap hidup mengingatkan kita bahwa Sumatera Utara bukan hanya kaya budaya, tetapi juga kaya akan kisah kepahlawanan yang mengakar kuat dalam sejarah bangsa.













