Kredit Produktif, Bukan Sekadar Likuiditas
Esensi kebijakan ini adalah menyalurkan kredit produktif. Itu berarti, dana harus mengalir ke sektor riil mulai dari UMKM, pertanian, industri kecil, perdagangan, hingga proyek-proyek strategis yang menciptakan lapangan kerja.
Sebagai mantan bankir, saya tahu ada kecenderungan bank bermain aman, menghindari risiko, dan lebih suka menempatkan dana pada instrumen yang pasti.
Inilah tantangan besar bagaimana mendorong bank berani menyalurkan kredit, sekaligus memastikan bahwa penerima dana mampu mengelola pinjaman secara produktif.
Pemerintah daerah bisa mengambil peran di sini dengan mendampingi UMKM, memberi pelatihan, serta menjembatani kebutuhan kredit dengan dunia perbankan.
Risiko Jika Daerah Hanya Menunggu
Ada risiko besar bila daerah tidak berani bergerak. Pertama, Rp200 triliun ini bisa kembali terjebak di lingkaran pusat, hanya memperkuat sektor finansial tanpa efek nyata di lapangan.
Kedua, disparitas pembangunan akan semakin melebar antara pusat dan daerah. Ketiga, peluang menciptakan lapangan kerja baru akan hilang begitu saja.
Pertumbuhan 7–8 persen seperti target Presiden Prabowo tidak akan terwujud bila daerah hanya menjadi penonton, justru daerah harus jadi pemain utama, karena pertumbuhan sejati lahir dari bawah.
Saya percaya, momentum ini adalah kesempatan langka. Kebijakan Menkeu Purbaya bisa menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya jika daerah siap menyambutnya.
Jangan biarkan dana jumbo itu hanya menjadi headline media, tanpa dampak nyata di pasar, sawah, atau warung kecil.
Tugas kita adalah memastikan bahwa setiap rupiah yang digulirkan mampu menggerakkan roda ekonomi rakyat.
Daerah harus punya visi, strategi, dan keberanian seperti saya katakan sejak awal pintu besar sudah dibuka. Sekarang tinggal siapa yang berani melangkah masuk.