LENSAKINI – Di tengah tantangan ekonomi global dan ketimpangan kesejahteraan yang masih terasa antara desa dan kota, pemerintah Indonesia memilih jalan yang tidak biasa membangun koperasi dalam tempo cepat.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, lahirlah gerakan Koperasi Merah Putih, yang disebut-sebut sebagai instrumen ekonomi rakyat menuju Indonesia Emas 2045.
Langkah ini tergolong ambisius dengan pemerintah menargetkan terbentuknya 80 ribu koperasi desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Hingga Mei 2025, 47.630 koperasi telah berdiri sekitar 57 persen dari target. Pada pertengahan Juni, 31.888 di antaranya sudah berstatus legal di Kementerian Koperasi dan UKM.
Angka yang melonjak cepat dalam hitungan bulan, memunculkan satu pertanyaan besar mengapa pemerintah “ngebut”, dan apa sebenarnya taruhan ekonomi rakyat di baliknya?
Sejak lama, pemerintah menyadari bahwa perekonomian desa adalah pondasi yang kerap diabaikan. Ketimpangan antara kota dan desa masih besar kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional terus menurun, namun lebih dari 40 persen penduduk Indonesia masih menggantungkan hidup di sana.
Koperasi Merah Putih hadir sebagai upaya membalik situasi itu. Konsepnya sederhana namun berani setiap desa memiliki satu koperasi yang menjadi wadah ekonomi rakyat, tempat petani, nelayan, dan pelaku UMKM bernaung.
Melalui koperasi, rantai pasok diperpendek, distribusi hasil bumi menjadi lebih efisien, dan keuntungan bisa kembali ke tangan masyarakat.
Pemerintah meyakini, koperasi bukan sekedar entitas bisnis, tetapi wadah gotong royong ekonomi yang bisa mengubah wajah desa.
Kementerian Koperasi menegaskan, percepatan pembentukan koperasi ini bukan hanya proyek administratif, melainkan langkah strategis untuk memperluas pemerataan ekonomi dari akar rumput.













