Namun bila tidak hati-hati, percepatan ini justru bisa melahirkan koperasi “mati suri” ada di data, tapi tidak hidup di lapangan. Potensi maladministrasi, penyalahgunaan dana, hingga praktik koruptif juga membayangi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan telah mengingatkan pemerintah untuk memastikan transparansi dalam pembentukan dan pengelolaan koperasi agar tidak menjadi ladang penyimpangan baru.
Pada akhirnya, program Koperasi Merah Putih adalah pertaruhan besar antara ambisi politik dan realitas ekonomi rakyat. Ini bisa menjadi tonggak kebangkitan ekonomi desa atau hanya proyek raksasa yang hilang arah bila tidak dikelola dengan hati-hati.
Pemerintah memang punya alasan untuk “ngebut” dari waktu menuju 2045 tidak lama. Tapi percepatan pembangunan ekonomi rakyat tidak boleh mengorbankan prinsip dasar koperasi yaitu kemandirian, partisipasi, dan keadilan.
Keberhasilan Koperasi Merah Putih bukan diukur dari seberapa cepat dibangun, melainkan seberapa lama bisa bertahan dan memberi manfaat bagi rakyat kecil.
Dalam konteks itu, “ngebut” boleh saja asal tidak kehilangan arah. Sebab di balik setiap koperasi, ada harapan jutaan keluarga desa yang ingin merdeka secara ekonomi di bawah bendera Merah Putih.













